Wednesday 23 January 2013

Dr. Maurice Bucaille


BIBLE, QURAN & Sains Modern

Kesalahan dan kebohongan Alkitab menurut Dr. Maurice Bucaille dari Perancis
PENGANTAR
Secara apriori mengasosiasikan Qur-an dengan Sains, adalah
mengherankan, apalagi jika asosiasi tersebut berkenaan dengan
hubungan harmonis dan bukan perselisihan antara Qur-an dan Sains.
Bukankah untuk menghadapkan suatu kitab suci dengan pemikiranpemikiran
yang tak ada hubungannya seperti ilmu pengetahuan,
merupakan hal yang paradoks bagi kebanyakan orang pada zaman ini?
Sesungguhnya sekarang para ahli Sains yang kebanyakannya
terpengaruh oleh teori materialis, menunjukkan sikap acuh tak acuh
bahkan sifat rnerendahkan terhadap soal-soal agama, karena mereka
memandangnya sebagai hal yang didasarkan atas legenda. Selain
daripada itu, di negeri Barat (negeri pengarang, dan kalangan orangorang
yang terpelajar menurut sistem Barat), jika seseorang berbicara
tentang Sains dan agama, kata agama itu difahami sebagai agama
Yahudi dan Kristen tetapi tak ada orang yang memasukkan Islam dalam
kata agama itu. Tentang Islam, orang Barat mempunyai gambaran yang
salah dan karena itu mereka juga menunjukkan penilaian yang salah,
sehingga sampai hari ini sangat susah bagi mereka untuk mendapatkan gambaran yang tepat dan
sesuai dengan ajaran Islam yang sebenarnya.
Sebagai pengantar untuk konfrontasi antara Wahyu Islam dan Sains, adalah sangat perlu untuk
memberikan suatu tinjauan tentang agama yang sangat tidak dikenal di negeri kita (Europa,
Perancis).
Penilaian yang salah terhadap Islam di Barat adalah akibat kebodohan atau akibat sikap
meremehkan dan mencemoohkan yang dilakukan secara sistematis. Akan tetapi di antara
kekeliruan-kekeliruan yang tersiar, yang paling berbahaya adalah kekeliruan-kekeliruan atau
pemalsuan fakta; jika kekeliruan penilaian dapat dimaafkan, maka penyajian fakta yang
bertentangan dengan fakta yang sebenarnya, tidak dapat dimaafkan. Adalah menyedihkan jika kita
membaca kebohongan-kebohongan besar dalam buku-buku yang serius yang ditulis oleh
pengarang-pengarang yang mestinya sangat ahli.
Umpamanya kita baca dalam Encyclopedia Universalis, jilid VI, artikel : Evangile (Injil), suatu
isyarat kepada perbedaan antara Injil dan Qur-an. Pengarang artikel tersebut menulis: “Pengarangpengarang
Injil tidak mengaku-aku, seperti Qur-an, menyampaikan otobiografi (riwayat hidup diri
sendiri) yang didiktekan oleh Tuhan kepada Rasulnya secara ajaib.” Begitulah kata penulis itu,
padahal Qur-an bukan otobiografi. Qur-an adalah tuntunan dan nasehat. Terjemahan Qur-an yang
paling jelek juga dapat mengungkapkan kenyataan ini kepada pengarang artikel tersebut.
Pernyataan tersebut di atas, yakni bahwa Qur-an itu otobiografi sama besar kesalahannya dengan
orang yang mengatakan bahwa Injil itu adalah riwayat hidup pengarangnya.Yang bertanggung
jawab tentang pemalsuan terhadap idea Qur-an itu adalah seorang guru besar di Fakultas teologi
Yesuite di kota Lion (Perancis selatan); tersiarnya kekeliruan semacam ini telah membantu memberi
gambaran yang salah tentang Qur-an dan Islam.
Walaupun begitu tetap ada harapan untuk memperbaiki keadaan, karena sekarang agama-agama
tidak hidup sendiri-sendiri; banyak agama yang mencari perkenalan dan pemahaman timbal balik.
Kita terharu dengan fakta bahwa pada eselon tertinggi orang-orang Katolik berusaha untuk
memelihara hubungan dengan umat Islam, serta menghilangkan kesalahfahaman dan mengoreksi
gambaran-gambaran yang keliru tentang Islam.
Saya telah menyebutkan perubahan besar yang terjadi pada-tahun-tahun yang terakhir ini dan
menyebutkan pula suatu dokumen yang dikeluarkan oleh Sekretariat Vatikan untuk orang-orang
bukan Kristen. Dokumen tersebut berjudul:
Orientasi untuk dialog antara umat Kristen dan umat Islam, dokumen itu sangat berarti karena
sikap-sikap baru terhadap Islam. Dalam cetakan ketiga (1970) kita dapatkan ajakan untuk
“meninjau kembali sikap-sikap kita terhadap Islam, dan mengkritik purbasangka kita” kita dapatkan
pula kata-kata seperti “kita harus bekerja keras lebih dahulu untuk merubah cara berfikir saudarasaudara
umat Kristen, secara bertahap; ini adalah yang paling penting,” “kita harus meninggalkan

page1

gambaran gambaran kuno yang kita warisi dari masa lampau atau gambaran-gambaran yang
dirubah oleh prasangka dan fitnahan,” “kita harus mengakui ketidak adilan yang dilakukan oleh
Barat yang beragama Kristen terhadap umat Islam.” Dokumen Vatikan yang terdiri dari 150
halaman itu menolak pandangan-pandangan kuno umat Kristen terhadap Islam dan menerangkan
hal-hal yang sebenarnya .
Di bawah judul: “membebaskan diri kita daripada prasangka-prasangka yang sangat mashur,” para
penulis dokumen tersebut mengajak umat Kristen sebagai berikut: “Di sini kita harus melakukan
pembersihan yang mantap dalam cara berfikir kita. Secara khusus kami pikirkan penilaian tertentu
yang “sudah jadi” yang sering dilakukan orang secara sembrono terhadap Islam. Adalah sangat
penting untuk tidak menghidup-hidupkan dalam hati sanubari kita, pandangan-pandangan yang
dangkal dan arbitrer yang tidak dikenal oleh orang Islam yang jujur.
Salah satu daripada pandangan arbitrer yang sangat penting untuk diberantas adalah pandangan
yang mendorong untuk memakai kata “Allah” secara sistematis untuk menunjukkan Tuhannya umat
Islam, seakan-akan Tuhannya umat Islam itu bukan Tuhannya umat Kristen.
Allah dalam bahasa Arab berarti Tuhan, Tuhan yang maha Esa, maha Tunggal. Oleh karena itu
untuk menterjemahkannya dalam bahasa Perancis kita harus rnemakai kata “Dieu,” dan tidak cukup
hanya mengambil alih kata arab (“Allah”) karena kata ini tak dimengerti orang Perancis. Bagi umat
Islam, Allah itu juga Tuhannya Nabi Musa dan Tuhannya Yesus.”
Dokumen Sekretariat Vatikan bagi umat bukan Kristen menekankan hal yang fundamental ini
sebagai berikut:
“Adalah tak berguna untuk mengikuti pendapat beberapa orang Barat bahwa Allah itu
sesungguhnya bukan Tuhan! Teks-teks yang dihasilkan oleh Konsili telah membenarkan kata-kata
di atas. Orang tidak akan dapat meringkaskan kepercayaan Islam tentang Tuhan, secara lebih baik
dari kata-kata Lumen Gentium (cahaya bagi manusia ) bagian dari Dokumen Konsili Vatikan II
(1962-1965) yang berbunyi: “Orang-orang Islam yang mengikuti aqidah Nabi Ibrahim menyembah
bersama kita kepada Tuhan yang Tunggal, yang maha penyayang, yang akan mengadili manusia
pada hari akhir.”
Semenjak itu orang mengerti mengapa orang Islam melakukan protes terhadap kebiasaan orang
Barat memakai kata ‘Allah’ untuk Tuhan. Orang-orang Islam yang terpelajar memuji terjemahan
Qur-an oleh D. Masson yang memakai kata “Dieu” (Tuhan) dan tidak memakai kata “Allah.”
Orang Islam dan orang Kristen menyembah Tuhan yang maha Tunggal.
Kemudian Dokumen Vatikan mengkritik penilaian-penilaian lain yang salah terhadap Islam.
“Fatalisme” Islam, suatu prasangka yang tersiar luas, dibahas dengan mengutip beberapa ayat Quran.
Dokumen Vatikan tersebut menunjukkan hal-hal yang sebalik Fatalisme, yakni bahwa manusia
itu akan diadili menurut tindakannya di Dunia.
Dokumen Vatikan tersebut juga menunjukkan bahwa konsep yuridisme atau legalisme dalam Islam
itu salah, yang benar adalah sebaliknya, yakni kesungguhan dalam Iman. Dibawakannya pula dua
ayat yang sangat tidak dikenal orang di Barat. Ayat pertama: “Tak ada paksaan dalam agama”
(Surat 2 ayat 256). Ayat kedua: “Dan Tuhan tidak menjadikan dalam agama sesuatu hal yang
memaksa.” (Surat 22 ayat 78)
Dokumen Vatikan tersebut juga menentang ide yang tersiar luas bahwa Islam itu adalah agama
“rasa takut,” dan menjelaskan bahwa Islam adalah agama cinta, cinta kepada orang-orang yang
dekat, cinta yang berakar dalam Iman kepada Allah. Dokumen Vatikan tersebut juga menolak
anggapan bahwa tak ada “moral Islam,” serta anggapan yang dianut oleh orang Yahudi dan orang
Kristen bahwa Islam itu adalah agama fanatisme. Dalam hal ini Dokumen tersebut mengatakan:
“Sesungguhnya, Islam dalam sejarahnya tidak pernah lebih fanatik daripada kota-kota suci Kristen
ketika kepercayaan Kristen bercampur dengan nilai politik.” Di sini para pengarang Dokumen
Vatikan menyantumkan ayat-ayat Qur-an yang diterjemahkan oleh orang Barat sebagai “Perang
Suci.”
“Perang suci yang dimaksudkan, dalam bahasa Arabnya adalah:
Al Jihad fi sabililah, usaha keras untuk menyiarkan agama Islam dan mempertahankannya terhadap
orang-orang yang melakukan agressi.” Dokumen Vatikan meneruskan keterangannya: “Al Jihad

page 2

bukan “kherem” yang tersebut dalam Injil. Jihad tidak bermaksud untuk memusnahkan orang lain,
akan tetapi untuk menyiarkan hak-hak Tuhan dan hak-hak manusia di negeri-negeri baru.”
Kekerasan yang timbul dalam Jihad adalah gejala-gejala yang mengikuti hukum perang. Pada
waktu peperangan Salib bukanlah orang- Islam yang selalu melakukan pembantaian besar-besaran.
Dokumen Vatikan akhirnya membicarakan purbasangka bahwa Islam itu adalah agama beku yang
mengungkung para pengkutnya dalam Abad Pertengahan yang sudah lampau dan menjadikan
mereka tidak sanggup untuk menyesuaikan diri dengan kemajuan tehnik pada zaman modern.
Dokumen tersebut menyebutkan perbandingan dengan situasi-situasi serupa yang terdapat di
negara-negara Kristen dan menyatakan “Kami menemukan dalam perkembangan tradisional
pemikiran Islam suatu prinsip evolusi yang dapat menjadi pedoman untuk masyarakat beradab.”
Bahwa Vatikan mempertahankan Islam, saya yakin, akan mengherankan pengikut-pengikut agama
masa kini, baik ia orang Yahudi, orang Kristen atau orang lslam. Gejala tersebut merupakan
manifestasi kesungguhan dan pikiran yang terbuka yang bertentangan sama sekali dengan sikapsikap
di masa dahulu. Tetapi sayang, sangat sedikit sekali orang-orang Barat yang mengetahui
pergantian sikap yang diambil oleh eselon tertinggi daripada Gereja Katolik.
Setelah kita mengetahui hal tersebut di atas kita tidak begitu heran untuk mendengarkan langkahlangkah
konkrit selanjutnya yang dilaksanakan untuk pendekatan ini. Mula-mula adalah kunjungan
resmi kepala Secretariat Vatikan untuk orang-orang bukan Kristen kepada (almarhum) Sri Baginda
Raja Faesal, raja Saudi Arabia, kemudian kunjungan ulama-ulama Besar dari Saudi Arabia kepada
Sri Paus Paul Vl pada tahun 1974. Kita merasakan arti spiritual yang dalam ketika Monsigneur
Elchinger menerima para ulama itu di Cathedral Strasbourg dan mempersilahkan mereka untuk
sembahyang di tengah-tengah Cathedral, walaupun menghadap ke arah Ka’bah.
PENGANTAR PENTERJEMAH
Pada bulan Maret 1977 saya mendapat kesempatan untuk menghadiri konferensi
internasional Islam-Kristen di kota Cordoba di Spanyol. Bepergian saya tersebut
sangat berfaedah, karena memberi gambaran kepada saya tentang masa gemilang umat
Islam di negeri Spanyol. Masjid Kurtubah yang sudah berusia 12 abad (didirikan 786)
itu masih berdiri dengan megahnya, wulaupun sudah tidak dipakai untuk sembahyang dan
di dalamnya didirikan sebuah Katedral.
Setelah selesai konferensi, saya mengunjungi Kota Paris untuk mengenang masa muda
saya, ketika pada tahun 1956 saya mempertahankan tesis saya di Sorbonne. Pada suatu
hari, saya mengunjungi Masjid Paris yang megah, dan secara tidak sengaja, saya
dapatkan tempat penjualan gamban-gambar Masjid, yang disukai oleh tourist-tourist
asing. Di tempat itu saya ketemukan buku yang berjudul La Bible, le Coran et la
Science (Bibel, Qur-an dan Sains modern). Segera saya membeli satu naskah, dan terus
pulang ke Hotel. Buku itu saya baca sampai tamat.
Buku tersebut telah menarik hati saya. Seorang tabib ahli bedah berkebangsaan
Perancis, yaitu Dr. Maurice Bucaille telah mengadakan studi perbandingan mengenai
Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru) dan Qur-an serta Sains modern. Akhirnya
ia mendapat kesimpulan bahwa dalam Bibel terdapat kesalahan ilmiah dan sejarah,
karena Bibel telah ditulis oleh manusia dan mengalami perubahan-perubahan yang
dibuat oleh manusia. Mengenai Al Qur-an ia berpendapat bahwa sangat mengherankan
bahwa suatu wahyu yang diturunkan 14 abad yang lalu, memuat soal-soal ilmiah yang
baru diketahui manusia pada abad XX atau abad XIX dan XVIII. Atas dasar itu, Dr.
Maurice Bucaille berkesimpulan bahwa Al Qur-an adalah wahyu Ilahi yang murni dan
Nabi Muhammad adalah Nabi terakhir.
Setelah membaca buku tersebut, saya merasa bahwa saya harus menyampaikan isi buku
tersebut kepada bangsa Indonesia, yang selalu menunjukkan perhatiannya kepada agama.
Maka saya terjemahkan buku tersebut, dengan harapan mudah-mudahan isinya dapat
dimanfaatkan oleh mereka yang mencari kebenaran dan mencari pegangan hidup,
khususnya para cendekiawan yang tidak sempat mempelajari Islam dari sumber-sumber
yang memuaskan.
Saya panjatkan syukur kepada Allah s.w.t. yang telah memberi saya tenaga untuk melaksanakan terjemahan ini.

Jakarta 1 September 1978.
M. Rasjidi.

page 3

KATA PENGANTAR PENGARANG

Masing-masing dari tiga agama Samawi mempunyai kumpulan kitab yang khusus. Dokumendokumen
itu merupakan dasar kepercayaan tiap penganut agama itu, baik ia orang Yahudi, orang
Kristen atau orang Islam. Dokumen-dokumen tersebut bagi mereka itu merupakan penjelmaan
material daripada wahyu Ilahi, yang bersifat wahyu langsung seperti yang diterima oleh Nabi
Ibrahim atau Nabi Musa, atau merupakan wahyu yang tidak langsung seperti dalam hal Nabi Isa
dan Nabi Muhammad. Nabi Isa berkata atas nama Bapa dan Nabi Muhammad menyampaikan
kepada seluruh manusia wahyu-wahyu Tuhan yang ia terima dengan perantaraan malaikat Jibril.
Untuk membicarakan sejarah Agama, saya mengambil sikap untuk menempatkan Perjanjian Lama,
Perjanjian Baru dan Qur-an dalam tempat yang sejajar sebagai wahyu tertulis. Sikap saya tersebut
yang pada prinsipnya dapat disetujui oleh umat Islam, tidak diterima oleh pengikut agama di
negeri-negeri Barat yang terpengaruh oleh agama Yakudi dan Kristen, karena rnereka itu tidak
mengakui Qur-an sebagai suatu kitab yang diwahyukan.
Sikap seperti tersebut nampak dalam masing-masing kelompok jika menghadapi kedua agama
lainnya, dalam soal Kitab Suci.
Kitab Sucinya agama Yahudi adalah Bibel Ibrani. Bibel bahasa Ibrani ini berbeda daripada Perjanjian
Lama menurut agama Masehi dengan tambahan-tambahan fasal-fasal yang tak terdapat dalam
bahasa Ibrani. Dari segi praktek, perbedaan ini tidak menyebabkan perubahan dalam aqidah. Akan
tetapi orang-orang Yahudi tidak percaya kepada adanya sesuatu wahyu sesudah kitab suci mereka.
Agama Masehi menerima Bibel Ibrani dengan menambahkan beberapa tambahan. Akan tetapi tidak
dapat menerima segala sesuatu yang termuat di dalamnya untuk membuktikan kenabian Isa.
Gereja Masehi telah melakukan potongan-potongan yang sangat penting dalam fasal-fasal yang
mengenai kehidupan Isa serta ajaran-ajarannya. Gereja Masehi tidak memasukkan dalam
Perjanjian Baru kecuali tulisan-tulisan yang sangat terbatas jumlahnya, yang terpenting ialah Injil
yang empat. Agama Masehi tidak menganggap adanya wahyu yang turun sesudah Nabi Isa dan
sahabatnya. Dengan begitu mereka tidak mengakui Al Qur-an.
Enam abad setelah Nabi Isa, Al Qur-an sebagai wahyu terakhir, banyak menyebutkan Bibel Ibrani
serta Injil.
Al Qur-an sering menyebut Torah1 dan Injil. Al Qur-an mewajibkan kepada semua orang muslim
untuk percaya kepada kitab-kitab sebelumnya (surat 4 ayat 136). Al Qur-an menonjolkan
kedudukan tinggi para Rasul dalam sejarah Wahyu, seperti Nabi Nuh, Nabi Ibrahim, Nabi Musa dan
para Nabi Bani Israil, dan juga kepada Nabi Isa (Yesus) yang mempunyai kedudukan istimewa di
ancara mereka. Kelahiran Yesus telah dilukiskan dalam Al Qur-an sebagai suatu kejadian ajaib
(supernatural) seperti juga dilukiskan oleh Injil. Al Qur-an menyebutkan Maryam secara istimewa.
Bukankah surat no. 19 dalam Qur-an bernama surat Maryam?
Perlu saya nyatakan bahwa hal-hal yang mengenai Islam pada umumnya tak diketahui orang di
negeri-negeri Barat. Hal ini tidak mengherankan jika kita mengingat bagaimana generasi-generasi
diberi pelajaran agama dan bagaimana selama itu mereka itu dikungkung dalam ketidak tahuan
mengenai Islam. Pemakaian kata-kata “religion Mahometane” (Mohamedanism) dan Mahometans
(Mohamedans) sampai sekarang masih sering dipakai, untuk memelihara suatu anggapan yang
salah yakni bakwa Islam adalah kepercayaan yang disiarkan oleh seorang manusia, dan dalam
Islam itu tak ada tempat bagi Tuhan (sebagaimana yang difahamkan oleh kaum Masehi). Banyak
kaum terpelajar zaman sekarang yang tertarik oleh aspek-aspek Islam yang mengenai filsafat,
kemasyarakatan atau ketatanegaraan, tetapi mereka tidak menyelidiki lebih lanjut bagaimana
dalam mengetahui aspek-aspek itu mereka sesungguhnya bersumber kepada wahyu Islam.
Biasanya orang bertitik tolak dari anggapan bahwa Mohammad bersandar kepada wahyu-wahyu
yang diterima nabi-nabi sebelum dia sendiri, dengan begitu mereka ingin mengelak dari
mempersoalkan “wahyu.”






No comments:

Post a Comment